Review Jurnal

JUDUL: SENGKETA EKONOMI SYARIAH DAN SOLUSI PENYELESAIANNYA
IDENTITAS PENULIS: Nandang Ihwanudin adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Ilmu Syari’ah STAI Siliwangi Bandung
IDENTITAS JURNAL: Jurnal Hukum Vol. 3 No. 2 Thn. 2016. Jurnal tersebut membahas tentang pengkajian filosofis penyelesaian dalam Sengketa Ekonomi Syariah yang menggunakan jalur litigasi atau non-litigasi.

Abstract
The rapid growth of the banking and Islamic financial institutions did not ensure that will be a lot of sharia economic disputes brought to the Religious Court. The number of resolution options of dispute sharia economy (choice of forum) is often cited as the cause since besides through litigation (litigation effort) in a religious court, sharia economic disputes can also be resolved by non-litigation (non-litigation effort), for example by mediation or through Arbitration Service. But now, a special dispute resolution options such as Islamic banking has been eliminated and can only be resolved by the Court of religion by the Constitutional Court Decision No. 93 / PUU-X / 2012 dated August 29, 2013. This writing will be more focused on the philosophical study of sharia economic disputes and completion. Results of the analysis is that the sharia economic disputes are civil disputes which subject and object of the law based on sharia. The occurrence of a dispute can be caused by two things, namely breach of contract and tort. The solution can be done through two ways, namely litigation on Basyarnas and in addition to Islamic banking disputes and Religious Courts as the absolute authority (article 49 UUPA).
Keywords : Sharia economic disputes, litigation effort, non-litigation effort.

Abstrak
Pesatnya pertumbuhan perbankan serta lembaga keuangan syariah ternyata tidak menjamin akan banyak sengketa ekonomi syariah yang dibawa ke Pengadilan Agama. Banyaknya opsi penyelesaian sengketa ekonomi syariah (choice of forum) kerap disebut-sebut sebagai penyebabnya karena selain melalui jalur litigasi (litigation effort) di pengadilan agama, sengketa ekonomi syariah memang dapat pula diselesaikan melalui jalur non-litigasi (non-litigation effort), misalnya dengan mediasi atau melelui Badan Arbitrase. Namun sekarang, opsi penyelesaian khusus sengketa berupa perbankan syariah telah dihapuskan dan hanya boleh diselesaikan oleh Pengadilan Agama berdasarkan putusan MK Nomor: 93/PUU-X/2012 tertanggal 29 Agustus 2013. Pada penulisan kali ini akan lebih memfokus­kan pada kajian filosofis tentang sengketa ekonomi syariah serta penyelesaiannya. Hasil dari analisisnya adalah bahwa sengketa ekonomi syariah merupakan sengketa perdata yang subjek dan objek hukumnya berdasarkan syariah. Terjadinya suatu sengketa ini bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur dua jalur, yaitu litigasi pada Basyarnas dan selain sengketa perbankan syariah dan Pengadilan Agama sebagai kewenangan absolutnya (pasal 49 UUPA).
Kata Kunci : Sengketa ekonomi syariah, litigation effort, non-litigation effort.

Pendahuluan
               A.    Latar belakang
Menurut Jimly Asshiddiqie, Penegakan hukum itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata.
Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materil. Kewajibandemikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Selanjutnya, demi terwujudnya penegakan hukum yang berkeadalain, maka diperlukannya lembaga penegakan hukum yang memadai. Dalam hal penegakan hukum Perdata Islam di Indonesia, Pengadilan Agama merupakan salah satu lembaga penegakan hukum atau badan peradilan yang melaksanakan tugasnya diberikan oleh undang-undang yang dikhususkan bagi orang beragama Islam atau yang menundukan diri pada hukum Islam secara sukarela yang dimulai dengan proses penerimaan, pemeriksaan, proses mengadili, dan menyelesaikan perkara yang tertera dalam pasal 49 sampai pasal 53 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 jo. Undang-Undang No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Perubahan UUPA pada tahun 2006 memberikan konekuensi kepada pengadilan agama dengan diberikannya kewenanagan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata berupa sengketa ekonomi syariah yang meliputi sengketa bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
Sengketa ekonomi syariah yang diselesaikan di Pengadilan Agama masih sangat sedikit. Berdasarkan data yang terdapat di Direktorat Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata Agama, selama 2011 perkara ekonomi syariah yang masuk ke Pengadilan Agama dalam skala nasional hanya berjumlah lima perkara. Dari lima perkara tersebut, dua perkara ditangani Pengadilan Agama di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Semarang dan tiga perkara ditangani Pengadilan Agama di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta. Hingga akhir tahun 2011, satu perkara di wilayah Jawa Tengah sudah diputus dan satu perkara masih dalam proses. Sementara itu, di wilayah Yogyakarta, perkara yang sudah diputus baru satu dan dua lainnya masih disidangkan.
Seiring berjalannya waktu, jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama dari tahun ke tahun mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan. Pada bulan Desember 2015 saja, perkara ekonomi syariah yang terdaftar di Pengadilan Agama dalam skala nasional sebanyak 6 perkara dengan perkara sisa sebelumnya menjadi 36 perkara sengketa ekonomi syariah, sehingga total 42 perkara. Dalam prosesnya, adri total perkara tersebut, dua (2) perkara dicabut, dua (2) perkara dikabulkan, satu (1) perkara tidak diterima, dan satu (1) perkara lagi dicoret dari register, sehingga sisa perkara yang masih harus diproses pada tahun 2016 sebanyak 36 perkara ditambah lagi ada satu (1) perkara yang banding dan satu (1) perkara yang kasasi. Sedangkan pada bulan Januari 2016 perkara ekonomi syariah yang masuk sebanyak 12 perkara ditambah sisa bulan sebelumnya sebanyak 38 perkara, sehingga total ada 50 perkara.
Dibandingkan dengan perkara lainnya, sengketa ekonomi syariah bisa dibilang sangat sedikit dari total perkara yang terdaftar pada bulan Januari 2016 sebanyak 121.753 perkara. Itu artinya perkara ekonomi syariah tidak mencapai 0,05 % pun secara nasional pada akhir bulan Januari 2016.
Selanjutnya, minimnya perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama di wilayah Jawa Barat justru berbanding terbalik dengan upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan dikalangan peradilan agama untuk menyongsong kewenangan baru di bidang sengketa ekonomi syariah tersebut.
Berbarengan dengan penyusunan hukum materil dan formil mengenai sengketa ekonomi syariah, para hakim Pengadilan Agama juga turut meningkat­kan pengetahuan dan keterampilan. Kini banyak hakim Pengadilan Agama yang menempuh studi S2 dan S3 dengan memfokuskan diri pada bidang ekonomi syariah. Berbagai pelatihan pun diselenggarakan. Beberapa di antara pelatihan itu bahkan difasilitasi oleh negara Timur-Tengah seperti Saudi Arabia dan Sudan. Sebagai contoh pada bulan April 2015, 40 Hakim Pengadilan agama dikirim untuk mengikuti diklat ekonomi syariah di Sekolah Tinggi Peradilan, Universitas Al Imam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh, Saudi Arabia. Kemudian pada tanggal 1-7 Juni 2015. Ketua MA dan rombongannya berkunjung ke Qatar dan Sudan untuk melakukan kerjasama pendidikan dan pelatihan, khususnya di bidang ekonomi syariah.
Meski demikian, kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah yang telah tertulis secara eksplisit dalam Pasal 49 UUPA. Namun pesatnya pertumbuhan perbankan serta lembaga keuangan syariah (LKS) ternyata tidak menjamin akan banyak sengketa ekonomi syariah yang dibawa ke Pengadilan Agama. Banyaknya opsi penyelesaian sengketa ekonomi syariah (choice of forum) kerap disebut-sebut sebagai penyebabnya karena selain melalui jalur litigasi (litigation effort) di Pengadilan Agama, sengketa ekonomi syariah memang dapat pula diselesaikan melalui jalur non-litigasi (non-litigation effort), misalnya dengan mediasi atau melelui Badan Arbitrase. Opsi mana yang dipilih para pihak tergantung pada kesepakatan yang tertuang dalam akad sebelumnya. Jika para pihak dalam hal penyelesaian sengketa membuat klausula melalui lembaga atau badan arbitrase, maka penyelesaian sengketa akan dibawa ke lembaga atau badan arbitrase tersebut.
Kesepakatan pemilihan lembaga arbitrase itu bisa dilakukan sebelum timbul sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah timbul sengketa (acta compromis). Namun sekarang, opsi penyelesaian salah satu sengketa ekonomi syariah berupa perbankan syariah yang sebelumnya bisa memilih opsi melalui Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, atau Badan Arbitrase telah dihapuskan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 93/PUU-X/2012. tertanggal 29 Agustus 2013.
Putusan MK tersebut menegaskan bahwa penjelasan pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penjelasan pasal tersebutlah yang selama ini menjadi biang kemunculan piulihan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad (choice of forum. Dengan demikian, konsekuensi konstitusional dari putusan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa sejak putusan tersebut diketok, Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang mengadili perkara perbankan syariah.
Dari uraian di atas cukup menarik untuk dikaji secara komprehensip mengenai penyelesaian sengketa sengketa ekonomi syariah baik yang diselesaikan secara litigasi di pengadilan agama maupun yang diselesaikan secara non litigasi di melalui Alternatip Dispute Resolution (ADR) oleh Badan Arbitrase.

                B.     Rumusan masalah
1)      kenapa sengketa ekonomi terjadi?
2)      Apa penyebab sengketa ekonomi?
3)      Apa sumber hukum penyelesaian sengketa ekonomi?
4)      Bagaimana menyelesaikan sengketa ekonomi?
                C.    Batasan masalah
1)      Untuk mengetahui sengketa ekonomi
2)      Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya sengketa ekonomi di Indonesia
3)      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi di Indonesia
4)      Untuk mengetahui cara-cara untuk menyelesaikan sengketa ekonomi di Indonesia

Metode penelitian
A.    Objek Penelitian
Sengketa ekonomi syariah adalah suatu pertentangan antara dua pihak atau lebih atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut perinsip" dan asas hukum. Sengketa ekonomi syariah merupakan sengketa perdata yang objeknya berdasarkan hukum syariah. Hukum syariah yang digunakan yaitu  UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan salah satu perubahan mendasar wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).
B.     Populasi
Sengketa ekonomi syariah di Indonesia belum banyak seperti sengketa-sengket lainnya yang berhubungan dengan hukum. Sengketa ekonomi syariah hanya berjumlah kurang dari 5%, sehingga tahapan penelitian akan didasari oleh hukum syariah dan filosofi dalam menyelesaikan terjadinya sengketa ekonomi.
C.    Sumber Data
Data ini diperoleh dengan mengadakan penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh landasan tertulis berupa : Bahan hukum yang bersumber pada peraturan erundang-undangan yang berlaku (hukum positif), putusan BASYARNAS, yuriprudensi Makhamah Agung RI yang telah dipublikasikan.
D.    Alat penelitian
Penyelesaian dapat dilakukan melalui 2 jalur, yaitu litigasi pada basyarnas dan melalui sengketa perbankan syariah dan pengadilan agama sebagai kewenangan absolutnya.

Pembahasan
A.    Pengertian Sengketa Ekonomi Syariah
Pada dasarnya, kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang berkaitan dengan masalah harta dan benda. Kegiatan ekonomi bisa terjalin apabila terjadi transaksi antara satu pelaku ekonomi dengan pelaku ekonomi lainnya. Namun dalam pelaksanaan transaksi tersebut terkadang menimbulkan sengketa dikemudian hari.
Secara etimologi, menurut KBBI, sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, atau perselisihan. Adapun secara istilah, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dan dapat diberikan sanksi hukum terhadap salah satu diantara keduanya.
Selanjutnya, ekonomi syariah (Islamic Economics) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tata kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai ridha Allah, dengan kata lain merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, atau juga dapat diartikan sebagai suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan sengketa ekonomi syariah adalah suatu pertentangan antara dua pihak atau lebih pelaku ekonomi yang kegiatan usahanya yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip dan asas hukum ekonomi syariah yang disebabkan persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dan dapat diberikan sanksi hukum terhadap salah satu diantara keduanya.
B.     Sebab-Sebab Terjadinya Sengketa Ekonomi Syariah
Dalam perbuatan atau kegiatan usaha itu tentunya tidak selalu berjalan mulus seperti yang diinginkan oleh pelaku usaha. Walaupun telah diatur oleh undang-undang, atau telah diadakan perjanjian antara pelaku usaha, yang telah disepakati. Meskipun pada awalnya tidak ada itikad untuk melakukan penyimpangan dari kesepakatan, pada tahap berikutnya ada saja penyebab terjadinya penyimpangan. Apabila terjadi adanya penyimpangan dalam pelaksaan kegiatan ekonomi syariah, maka ini menjadi sebuah sengketa ekonomi syariah.
Terjadinya sengketa ini pada umumnya, karena adanya penipuan atau ingkar janji oleh pihak-pihak, atau salah satu pihak tidak melakukan apa yang dijanjikan/disepakati untuk dilakukan. Pihak- pihak atau salah satu pihak telah melaksanakan apa yang disepakati akan tetapi tidak sama persis sebagaimana yang dijanjikan. Pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat, dan pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Sehingga tindakan-tindakan tersebut menimbulkan salah satu pihak merasa dirugikan.
Ababila seseorang atau badan hukum telah melakukan akad syariah dengan pihak lain, maka antara pihak tersebut telah terjalinnya perikatan. Oleh karena itu, menurut hukum perdata, kesepakatan yang telah disetujui para pihak tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, terjadinya suatu sengketa ekonomi syariah disebabkan oleh dua pihak baik perorangan atau badan hukum yang melakukan akad atau perjanjian dengan prinsip syariah yang salah satu pihak melakukan wanprestasi dan atau melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mengakibatkan pihak yang lainnya merasa dirugikan.
Misalkan dalam sengketa perbankan syariah, salah seorang nasabah melakukan suatu akad pinjam-meminjam pada salah satu bank syariah, sebut saja misalkan Bank Syariah Bukopin, sebesar jumlah tertentu dengan angsuran bulanan sesuai kesepakatan, satu atau dua bulan pertama angsurannya lancar, namun pada bulan berikutnya nasabah tersebut tidak membayar angsuran dengan berbagai macam alasan (angsuran macet). Sehingga menyebabkan pihak bank syariah bukopin merasa dirugikan. Keadan tersebut mengakibatkan terjadinya sengketa ekonomi syariah disebabkan melakukan wanprestasi.
C. Tujuan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pada prinsipnya, tujuan penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah untuk menemukan solusi penyelesaian suatu masalah ekonomi yang terjadi antara satu pihak dengan pihak yang lain yang melakukan kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip dan asas-asas ekonomi syariah. Sehingga tercipta suatu keputusan yang dapat memberikan keadilan hukum, kepastian hukum, dan manfaat hukum bagi kedua belah pihak yang berperkara.
D. Sumber Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia
Sumber Hukum ekonomi syariah yang dimaksud adalah sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Berikut ini, sumber hukum yang dapat digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah:
1.      Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UUPAOleh karena itu, berikut ini sumber hukum formil penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yaitu:
·         Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.
·         Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
·         Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 jo, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.
·         Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 jo, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.
·         Yurisprudensi Mahkamah Agung.
·         Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA).
2.      Sumber Hukum Fikih (Hukum Materil)
Seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara, harus mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta-fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam proses pemeriksaan perkara tersebut.
Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yudisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi lingkungan pengadilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara ekonomi syariah setelah al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah:
·        Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak. Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349 KUHPerdata. Ketentuan tersebut tentu saja dapat diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syariat Islam.
·        Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dewan syariah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan yang salah satunya menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. hingga saat ini, produk DSN MUI berupa fatwa sudah mencapai 100 fatwa tentang ekonomi syariah.
·        Kitab Fiqh dan Ushul FiqhFiqh merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syariah.
·         Adat Kebiasaan di bidang ekonomi syariah. Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu: pertama, perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulangulang dalam waktu yang lama (longaet inveterate consuetindo); kedua, kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan ketiga, adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah mempunyai ketiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah.
·        Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diberlakukan berdasarkan PERMA Nomor 2 Tahun 2008. Muatan hukum KHES diklasifikasikan menjadi empat buku, yaitu Buku I berisi tentang Subyek Hukum dan Amwal, Buku II tentang Akad, Buku III tentang Zakat dan Hibah, Buku IV tentang Akuntansi Syariah.
·        Yurisprudensi dan doktrin-doktrin tentang ekonomi syariah. Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah dikekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syariah. Dengan perkataan lain yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum dalam hal ini adalah putusan hakim yang benar-benar sudah melalui proses eksaminasi dan notasi dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.

E. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia
Bila kita melakukan suatu kontrak/akad dalam ekonomi syariah dengan melakukan suatu transaksi dengan pihak lain dan yang telah ditandatangani bersama, maka biasanya selalu ada suatu klausul dalam pasal tersendiri yang mengatakan cara bagaimana melakukan suatu penyelesaian atas suatu perselisihan atau sengketa yang timbul setelahnya. Penyelesaian sengketa tersebut dalam sistem hukum disebut dengan penegakan hukum.
Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (Judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif. Oleh karena itu, lembaga yang berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of lawAkan tetapi berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUH Perdata, Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Secara umum penyelesaian sengketa dapat memilih diselesaikan melalui dua jalur, yaitu jalur non litigasi (non litigation effort) dan jalur litigasi (litigation effort). Jalur non litigasi artinya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang umumnya juga dinamakan dengan AlternativDispute Resolution (ADR). sedangkan litigasi berarti penyelesaian sengketa diselesaikan melalui jalur pengadilan. Maka jika para pihak dalam penyelesaiannya ingin melalui jalur litigasi maka berdasarkan Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa perkara ekonomi syariah sudah menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Opsi mana yang dipilih para pihak tergantung pada kesepakatan yang tertuang dalam akad sebelumnya. Jika para pihak penyelesaian sengketa membuat klausula melalui lembaga atau badan arbitrase, maka penyelesaian sengketa akan dibawa ke lembaga atau badan arbitrase. Kesepakatan pemilihan lembaga arbitrase itu bisa dilakukan sebelum timbul sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah timbul sengketa (acta compromis).
Namun sekarang, opsi penyelesaian salah satu sengketa ekonomi syariah khususnya berupa sengketa perbankan syariah yang sebelumnya menurut pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bisa memilih opsi melalui Pengadilan Negeri atau Badan Arbitrase telah dihapuskan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 93/PUU-X/2012. tertanggal 29 Agustus 2013. Akan tetapi, untuk sengketa ekonomi syariah lainnya masih berlaku choice of forum.
Berikut ini proses penyelesaian perkara ekonomi syariah yang dapat dijadikan pilihan oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa sesuai dengan kesepakatan para pihak pencari keadilan:
1.      Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar Pengadilan (Non-Litigation Effort)
Menurut Suyud Margono, kecenderungan memilih Alternatif Dispute Resolution (ADR) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan atas pertimbangan bahwa para pihak kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibandingkan dengan penyelesaian sengketa di Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan arbitrase atau jalan alternatif penyelesaian sengketa. Berdasarkan pembagiannya, Alternatif Dispute Resolution (ADR) dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
·         Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Perdamaian
Pemikiran kebutuhan akan lembaga al-shulhu (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
·         Arbitrase (Tahkim) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law).
Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999. adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase mengikuti ketentuan syarat sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut.
Lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa yang berada di Indonesia diantaranya adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis konvensional (sektor perdagangan, industry, dan keuangan). Selain BANI, ada juga Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang khusus menyelesaikan sengketa mengenai pasar modal di Indonesia. Kemudian juga ada Basyarnas yang merupakan lembaga Arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah. Oleh karena itu, lembaga atau badan arbitrase yang khusus menangani sengketa ekonomi syariah di Indonesia adalah Basyarnas.
2.      Penyelesaian sengketa melalui jalur Pengadilan (Litigation Effort)
Dalam konteks ekonomi syariah, sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulhu (perdamaian) maupun secara tahkim (arbitrase) dapat diselesaikan melalui lembaga Peradilan. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Lembaga Peradilan Agama melalui Pasal 49 UUPA telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Dalam penjelasan Undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat-surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syariah melalui mekanisme litigasi Pengadilan Agama terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun Kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syariah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syariah. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syariah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Prenada Media. 2005).
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: Prenada Media.2004).
C.S.T.Kansil, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka. 1993).
Dirjen Badilag MARI. “Laporan Tentang Perkara yang Diterima dan Diputus - L1PA.8 Data Total Secara Nasional Desember 2015” dalam http://infoperkara.badilag.net/ . Diakses pada 23 Februari 2016.
Dirjen Badilag MARI. “Laporan Tentang Perkara yang Diterima dan Diputus - L1PA.8 Data Total Secara Nasional Januari 2016” dalam http://infoperkara.badilag.net/ . Diakses pada 23 Februari 2016.
Dirjen Badilag MARI. Majalah Peradilan Agama (Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia), Edisi 7, Oktober 2015.
DSN MUI yang berhubungan dengan Ekonomi Syariah
DSN MUI, “Fatwa”, dalam http://www.dsnmui.or.id/index.php?page=fatwa. Diakses pada tanggal 23 Februari 2016.
Editor, “Keadilan”, dalam http://id.wikipedia.org(Keadilan). Diakses tanggal 30 Maret 2013.
Editor, “Masih Minim, Perkara Ekonomi Syariah yang Ditangani Peradilan Agama”, dalam http://www.pa-palembang.go.id/index.php?option=com content&view=article&id=263& Itemid=180. Diakses tanggal 03 Juni 2015.
Editor, “Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah Nasional”, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15990/mengurai-benang-kusut-badan-Arbitrase-syariah-nasional. Diakses pada 24 Februari 2016.
Editor, “pengertian sengketa ekonomi”, dalam http://bangbenzz.blogspot.co.id/ 2010/06/pengertian-sengketa-ekonomi.html diakses tanggal 10 Desember 2015.
Editor, “Sengketa”, dalam http://kbbi.web.id/sengketa. Diakses tanggal 10 Desember 2015.
Editor,“Supremasi Hukum dan Penegakan Hukum” dalam http://journal.umi.ac.id /pdfs/(Supremasi_Hukum_dan_Penegakan_ Hukum.pdf). diakses tanggal 26 mei 2013.
Juhaya s. Pradja, Ekonomi Syariah (Bandung: Pustaka Setia. 2012), cet kesatu, hlm. 221.
Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2005)
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Proceeding, Pelatihan Tematik Ekonomi Syariah Bagi Hakim Pengadilan Agama (Jakarta: t.pn. 2013, Cetakan Pertama.
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2006), cetakan pertama.
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis (Jakarta. Rineka Cipta. 2003).
Sarkaniputra, Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi Islam (Jakarta P3EI UIN Syarif Hidayatullah. 2005).
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia. 2000).
Taufiq Amrullah, “Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, dalam Tesis, Program MPKP Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Depok. 2006.
Tim Manajemen, Kompilasi Perundang-Undangan Tentang Ekonomi Syariah. (Jakarta: GP Press. 2008)
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 jo. Undang-Undang No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.




Komentar

Postingan populer dari blog ini